Penulis:
Alexander Katuuk *
Budayawan
SESUAI catatan sejarah, tanah perkebunan/pertanian di desa-desa di Minahasa dahulu dibuka dari hutan (Tumani) oleh Tunduan (lemimpin waktu itu).
Seperti di Lembean, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara (Tonsea) dipimpin oleh Tete Simon Lasut pada pertengahan Abad XIX.
Para petani muda waktu itu dengan Tunduan Simon Lasut dengan di dukung oleh Ukungtua Petrus Pusung dan Daniel Luntungan, serta dibantu oleh pemuda-pemuda baik yang asli orang Lembean maupun dari Langowan, Tomohon, Tanawangko (yang akhirnya kawin dengan perempuan Lembean/Neeykaampit) merombak hutan menjadi sawah, telaga dan membuka kebun dengan menanam kelapa, pala serta buah-buaan seperti durian, mangga, mombongan, pakoba dll.
Tete Simon Lasut mendapat julukan “Tumeren” karena menelopori tumanu di Lembean dan kemudian menjadi Ukyngtua pada tahun 1882-1888.
Pemuda yang rajin akan banyak memiliki tanah yang sudah ditanami kelapa, pala maupun sawah dan telaga.
Waktu itu belum begitu banyak uang beredar sehingga pola kerja Mapalus menjadi primadona dalam bertani/berkebun.
Sampai di tahun 1970-an anak-anak dilatih bekerja sambil belajar sehingga orangtua tidak terbeban dengan biaya sekolah anaknya.
Tanah kebun itu kemudian menjadi warisan buat anak-anak, cucu-cucu bahkan cece dan cicit seperti yang penulis alami.
Penulis masih menikmati warisan tanah di Lembean, Bitung dan Tandurusa. Hanya saja sebagian tanah di Bitung diambil oleh Pemerintah Kota Bitung dan belum membayar ganti rugi hingga sekarang, ada juga yang diduduki tetangga dengan alasan hibah.