RELIGI  

MTPJ GMIM 29 Mei – 4 Juni 2022 : Anak adalah mahkota

Nasihat tentang akal budi yang menekankan bahwa seorang budak dapat menerima warisan menggantikan anak kandung apabila anak kandung itu sendiri, melalui sikap hidup dan kata-katanya telah membuat malu keluarganya.

Warisan yang seharusnya menjadi miliknya diberikan kepada budak. Maksud pengamsal adalah budak yang bijak, berakal budi, loyal, dan selalu berpikir serta berperilaku berdasarkan moral yang benar akan menggantikan anak yang membuat malu sebagai ahli waris.

Karena itu untuk memperoleh kebenaran hanya dapat di uji oleh Tuhan sebagaimana proses peleburan emas di dalam “kui” (mangkok kecil) untuk mendapatkan emas murni. Sehingga akan nampak kejahatan-kejahatan termasuk yang bibir yang jahat yaitu pendusta.

Pengajaran tentang betapa pentingnya keluarga yaitu orang tua dan anak diberi perhatian secara khusus oleh pengamsal (ay.6), sebagaimana dikemukakan Mahkota orangorang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka.

Mahkota (atarah) adalah simbol kemuliaan, kehormatan dan kebanggan. Kemuliaan orang tua memiliki relasi yang kuat dengan kehidupan anak-anaknya. Kehidupan anak-anak yang bijak dan benar mendatangkan kemuliaan bagi orang tua.

Mahkota itu menjadi tanda hidup panjang umur yang benar. Karena itu Yesus sendiri menempatkan anak-anak dalam kemuliaaan-Nya dengan mengingatkan kepada murid-murid-Nya untuk tidak menghalang-halangi anak-anak datang kepada-Nya (Markus 10:14).

Bagi masyarakat Israel kuno, memiliki anak menjadi tanda adanya berkat. Sementara itu, kehormatan (tipharah) anak-anak ditentukan oleh penghargaan yang diberikan masyarakat kepada nenek moyang mereka.

Pengajaran ini hendak mengungkapkan betapa pentingnya keluarga bagi masyarakat Israel kuno. Karena itu penting untuk menjadi pribadi-pribadi yang bijak bukan menjadi orang bebal (ay.715).

Orang bijak adalah orang yang berpengertian, yang mencintai pengetahuan dan suka diajar karena itu dengan senang hati menerima teguran untuk membangun pribadi yang baik. Sedangkan orang bebal (kesil) tidak mau menerima didikan.

Sehingga lebih mudah menjadi orang durhaka, membalas kebaikan dengan kejahatan, sering menjadi awal pertengkaran dan lebih berpihak pada kejahatan dengan mempersalahkan orang benar.