Hidupnya melimpah, tetapi hati nuraninya “miskin” untuk peduli apalagi memberi untuk orang lain.
Dampaknya ketika ia mati ia sangat menderita bahkan penuh kesakitan dalam nyala api yang tak pernah padam.
Sebaliknya Lazarus dalam kemiskinan dan penderitaan sakitnya tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya bisa pasrah dengan keadaannya.
Orang kaya ini sangat menderita, tetapi ia masih mengingat lima saudaranya yang masih hidup supaya mereka tidak masuk ke tempat yang penuh siksaan seperti dirinya.
Ia meminta kepada Abraham supaya mengutus Lazarus untuk memperingatkan mereka.
Sebab dalam pemikirannya mungkin kalau ada orang yang bangkit dari antara orang mati yang memberitakan tentang Firman Tuhan saudara-saudaranya akan langsung percaya, tetapi permintaannya tidak dikabulkan oleh Abraham.
Alasannya karena di dunia masih ada orang-orang yang memberitakan tentang Tuhan Allah (tercantum dalam kesaksian Musa dan para nabi).
Sehingga hendaknya saudara-saudara orang kaya itu mendengarnya dan percaya.
Sebab kalau mereka tidak mau mendengarnya sekalipun ada orang yang bangkit dari antara orang mati memberitakannya, mereka tidak akan percaya.
Hal ini juga menegaskan bahwa pemberitaan mengenai kebenaran firman Tuhan tidak selalu harus menuntut disertai dengan “mujizat yang luar biasa” kemudian seseorang itu percaya, tetapi percaya itu timbul dari pendengaran mengenai firman Tuhan yang benar.

 
							















