Bolmut, BERITASULUT.CO.ID – Baru-baru ini (02/02/2025) kita menyambut Bupati Baru, Sirajudin Lasena (SJL) dan pasangan wakil Bupatinya. Dibanding terlelap dalam euforia semata, ada beberapa hal yang perlu kita insyafi bahwa Bolmut harus berubah. Tentu ada berbagai lini kehidupan yang harus ditata, dan diperbaiki, namun, saya ingin memulai dari bagaimana kesadaran politik kita dibentuk dan mempunyai implikasi bagi maju atau tidaknya Bolmut.
Mafhum bahwa di antara kompleksitas kontestasi politik di Bolmut, ada nuansa persaingan eks-swapraja, Bintauna dan Kaidipang Besar, atau jika dipecah dalam unit-untinya menjadi Bintauna, Bolangitang dan Kaidipang. Hal ini adalah bagian dari realitas yang tak terhindarkan, pasalnya Bolmut berdiri dengan didukung basis ini—selain alasan otonomisasi dalam pendekatan demokrasi dan ilmu pemerintahan.
Persaingan ini tidak saja berhenti dalam masa lima tahun suksesi, kemelutnya berlanjut sampai pada bagaimana ‘kue’ APBD (kebijakan) dan kursi birokrasi didistribusikan. Dalam 15 tahun terakhir aroma itu begitu kental. Ketika Hamdan Datunsulang (Bintauna) memimpin selama lima tahun, struktur birokrasi dan keberpihakan kebijakan lebih condong ke arah Timur Bolmut, ketika berpindah selama 10 tahun di tangan Depri Pontoh (Bolangitang) akumulasi kuantitas serupa lebih banyak menjurus di wilayah Barat Bolmut. Di ruang-ruang sepi, persaingan politik ini mulai memunculkan sebuah istilah antropologi politik, yaitu Barat-Timur Bolmut, yaitu basis kekuatan dan keberpihakan politik dengan dasar geo-etnositas.
Hal-hal seperti ini memang menjadi sebuah pekerjaan rumah yang mewabah di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai negara paska kolonial yang disusun di antaranya dari basis kekuatan politik kerajaan, etnis dan sub-sub regensi, peralihan menjadi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur pembentuknya tersebut, walaupun para pendiri negara ini membuat bentuk republikanisme yang menghendaki suksesi dari pemilihan umum yang berdasar konstitusi dan non pewarisan geneologi kepala pemerintahan.
Sofyan Sjaf seorang yang kini menjadi dekan di IPB University sepertinya pernah merisaukan hal ini, hingga ia meneliti sebuah topik di daerahnya dengan judul Politik etnik : dinamika politik lokal di Kendari (2014). Buku ini terbilang bagus sekali untuk melihat realitas saat kontestasi politik dan paska kontestasi, terutama bagaimana distribusi kekuasaan juga terlihat menjurus pada corak etnis. Di sisi lain, seorang sejarawan Sulawesi Utara, Alex Ulaen (2016) menulis topik Pemekaran wilayah : Haruskah ke Akar Etnis secara spesifik mengkhawatirkan masa yang paling awal dalam otonomisasi, yaitu usulan pemekaran yang kadang melenceng dalam tujuan utamanya; alih-alih mendekatkan pelayanan publik, malah menjadi kontestasi etnis.
Pekerjaan Rumah:
Beberapa serpihan fakta itu, menjadi pekerjaan rumah yang hampir tak pernah selesai atau mungkin tak ingin diselesaikan. Pasalnya, kemelut itu juga menguntungkan untuk menghimpun suara. Sejauh ini memang belum ada riset spesifik di Bolmut dalam konteks ini, namun sebaran hasil pemilukada dalam dua pemilihan terakhir misalnya, tidak pernah berubah. Masih terlihat bahwa keterwakilan wilayah yang berkaitan dengan etnisitas cum wilayah eks-swapraja tercermin dalam perolehan suara, di mana suara terbanyak cenderung terkonsentrasi pada calon yang berasal dari wilayah tersebut.
Isu ini, harus diakui berjalan di dalam relung yang senyap namun tetap relevan untuk menjadi basis kekuatan politik. Orang-orang memang enggan untuk membicarakannya karena dianggap menjadi sebuah hal yang tidak pantas atau bahkan tabu. Hal itu seperti bersembunyi di balik semboyan ‘persaudaraan’ antar orang Bolmut. Namun, alih-alih tidak membicarakannya, isu ini sebenarnya terus dipelihara dengan cara tidak dilakukan intervensi berupa kebijakan tertentu, guna menciptakan masyarakat yang ‘baru’.
Di satu sisi, penebalan juga terjadi karena alasan distribusi kekuasaan dan kebijakan yang tidak merata. Saat pilkada, akan mudah menemui ungkapan-ungkapan terkait, yaitu apa alasan orang memilih calon kepala daerah, misalnya, “kita pilih pa dia dulu, supaya kampung masih mo gaga,” atau “kita nda pilih pa dia, karna dia nda mo liat torang pe kampung.” Para politisi dan pemangku kebijakan benar-benar harus memahami fakta-fakta ini dengan tidak melihat dari pandangan naif nya. Kondisi kritis melihat lapisan makna dan kenapa hal ini hadir adalah tuntutan pertama yang harus dimiliki pemimpin Bolmut, agar masalah bisa diungkap sampai hulu.
Bolmut Lama atau Baru?
SJL setidaknya memiliki dua pilihan utama di dalam isu ini, pertama tetap bertahan di dalam kejumudan dengan basis geo-etnisitas, namun menguntungkan di masa depan di dalam akumulasi perolehan suara yang sudah jelas, dan, pilihan kedua, keluar dari masalah-masalah ini dengan mendasari tata kelola pemerintahannya berdasar pada sistem meritokrasi,
yaitu distribusi kekuasaan dan kebijakan dengan berdasar pada prestasi dan kemampuan. Masalah kedua tentunya akan mendatangkan bentuk-bentuk struktur baru elit dan masyarakat Bolmut, disana terdapat sebuah tantangan bagi basis kekuatan politik dengan mendasari sepenuhnya pada kebijakan yang merata, dan keberpihakan berdasar prioritas sains.
Dua hal itulah yang bisa dirumuskan menjadi dua watak biner, Bolmut lama vs Bolmut baru. Selain itu Bolmut baru juga adalah elaborasi tata kelola pemerintahan berbasis sains yang akan sangat berkorelasi dengan meritokrasi sendiri. Sebuah cerminan, dari hal ini terdapat pada perumusan kebijakan berbasis fokus pembangunan wilayah dimana hal tersebut tertuang dalam perda RTRW. Sayangnya, kebijakan ini tidak pernah dilaksanakan secara penuh hatihati, atau bisa dikatakan gagal. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari Sangkub yang tidak benar-benar menjadi prioritas pertanian, Bintauna seperti tidak penting untuk masuk dalam pembangunan pendidikan tinggi, Pinogaluman dengan pelabuhan yang benar-benar hampir tidak diurusi, dan lain sebagainya.
Masalah Bolmut lama tidak berdiri sendiri, selain yang telah dipaparkan, ada kompleksitas tertentu yang juga bisa ikut mendorong SJL masuk dalam bentuk-bentuk kejumudan tersebut. Namun, diantara hal yang perlu untuk bisa menjadi bahan bagi terciptanya Bolmut baru adalah bagaimana melihat Bolmut utuh sebagai satu kesatuan, tentu bukan dengan hanya berhenti pada gerak retoris sebagimana watak negatif birokrasi kita. Semangat memahami esensi bahwa Bolmut perlu berubah menuju yang baru mesti dimulai dari kesadaran tersebut (Bolmut Satu), dengan tanpa syarat apapun.
Penulis : Ersad Mamonto (Orang Bolmut)


















