Parpol baru, cari makan atau cari jodoh

Ferry Daud Liando.

Keempat, belajar dari pengalaman pendirian parpol terdahulu, ternyata motif sebagian besar parpol didirikan bukan semata untuk kepentingan publik. Banyak elite parpol yang kalah berkompetisi untuk menjadi ketua umum parpol atau berkompetisi merebut rekomendasi pencalonan presiden atau jabatan-jabatan tertentu.

Kalah berkompetisi di internal maka hal yang dilakukannya adalah membentuk parpol baru. Prabowo, Wiranto, dan Surya Paloh dahulunya adalah kader Golkar. Elite-elite pendiri PAN dan PKB sebelumnya pernah di PPP.

Fenomena ini mirip dengan pendirian parpol Gelora yang pendirinya kini adalah dari mantan elite-elite PK, parpol Ummat dari PAN, parpol Masyumi dari PPP.

Baik di pusat dan daerah, meski tingkat perolehan suara parpol baru itu kecil tapi tetap menjadi efektif sebagai bergaining posisi untuk mendapatkan jabatan. Parpol bari bergabung dan menyatakan dukungan pada calon presiden/wakil presiden yang diusung parpol lainnya.

Konsekuensi atas semua itu adalah diperoleh banyak jabatan di BUMN, cukup untuk mendapatkan penghidupan yang layak memenuhi makan keluarga. Dalam hal ini janji parpol untuk mewujudkan kepentingan masyarakat tidak terpenuhi karena gagal memperoleh kursi di parlemen.

Di daerah, parpol-parpol yang kerap disebut gurem ini kerap dijodohkan atau sekedar diperdagangkan kepada parpol lain dalam rangka memenuhi ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah.

Ada parpol besar yang perolehan kursinya tidak mencapai perolehan kursi 20 persen di DPRD sebagaimana syarat UU 10/2016. Maka cara untuk mencukupinya adalah membeli kursi milik parpol gurem agar syarat ambang batas terpenuhi.