Adrey Laikun, sebuah catatan ringan dari sebuah percakapan

Adrey Laikun.

Seperti pemandangan kota dalam film-film koboy barat hitam putih yang diputar di arena bioskop layar tancap yang kerap mendatangi perkampungan pesisir ini, tiang-tiang listrik itu nampak berderet di pinggiran jalan menyangga kabel-kabel tanpa isolator.

Lampu penerangan jalan sangat minim, kecuali di pertigaan atau perempatan jalan yang agak ramai. Lampu-lampu itu pun sering tak bertahan lama, karena selalu dilempari anak-anak muda saat mabuk atau ada perkelahian antar lorong. Dan listrik baru dinikmati warga kelas atas, orang-orang kaya dan para pejabat daerah.

Di tahun-tahun yang lama itu, sahabat saya, Didi Koleangan, seorang pemerhati seni yang mukim di Manado Selatan, punya kelakar bernada satire saat mengolok kawasan pemukiman kami yaitu, “tempat jin buang anak!”

Di kawasan yang distigma sebagai daerah “Sablah Aer” yang bermakna kumuh dan miskin, yang disemaraki cerita unik keterbelakangan itulah sejatinya Daerah Pemilihan (Dapil) Adrey Laikun saat pertama ia melangkah ke panggung politik lewat Partai Nasdem.

Kawasan Dapil ini kini terbagi menjadi 3 kecamatan yaitu Tuminting, Bunaken Darat, Bunaken Kepulauan.

Dan beruntung, dalam satu dasawarsa, ketika Walikota Manado dijabat Vicky Lumentut, seorang kader Partai Nasdem, Manado Utara telah berkembang menjadi tepian kota modern yang dilengkapi berbagai fasilitas publik dan aksesibilitas yang mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Oleh karena itu pula bisa jadi, jin-jin tak lagi buang anak di kawasan ini, tapi lebih memilih beranak pinak di hati manusia yang menolak takdir dari apa yang didefinikan Aristoteles, manusia sebagai Zoon Politicon.

Manusia adalah makhluk sosial, atau dalam bahasa yang lebih satir dan nakal yaitu manusia adalah binatang yang berpolitik.

Sebagaimana penekanan filsuf Aristoteles, Adrey Laikun memandang manusia sebagai makhluk politik yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan demi mencapai kemaslahatan publik.